Barru, 12 Agustus 2025 — Kepala Kantor Kemenag Kab. Barru, Dr. H. Jamaruddin, M.Ag., mengikuti Breakfast Meeting Kemenag RI secara daring. Turut mendampingi adalah Kasubag TU, H. Husni Abbas, S.Ag., MA., serta tim Humas Kemenag Kab. Barru, Nurul Andini Aprilianti, S.A.P. dan Arga Probowisesa, S.IP.
Dalam arahannya Menteri Agama RI, Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A., menyampaikan beberapa hal terkait isu nasional dan peran Kemenag RI yang telah dan akan dijalankan. Ia memulai arahannya dengan menegaskan pentingnya peran berbagai pihak dalam menjaga moderasi dan toleransi masyarakat Indonesia. Melibatkan tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh perempuan, dan orang-orang yang memiliki peran dan pengaruh dalam masyarakat dapat menjadi lapisan pertama tameng yang menjaga harmoni dan keberagaman.
Oleh karena itu peran para pejabat di daerah dengan mengunjungi dan ikut serta dalam kegiatan keagamaan, sosial, maupun adat para tokoh ini sangat diperlukan. Jangan sampai ada alienasi yang membuat mereka jadi malas terlibat dalam peran moderasi dan mengurangi konflik di masa depan. “Agama apapun, acara apapun, jangan lihat agamanya. Ini resiko pejabat. Jangan berhenti hanya di dialog, tapi juga kegiatan sosial lain,” tambah Nasaruddin Umar.
Peran penyuluh agama juga tidak kalah pentingnya. Bukan hanya agama Islam, tapi seluruh penyuluh agama adalah ujung tombak dari deteksi dini gesekan yang mungkin akan terjadi. Merekalah yang bertemu langsung dengan masyarakat dan hidup di antara mereka. Tahu kondisi dan mampu mengambil tindakan pencegahan ketika dibutuhkan.
Maka Kemenag RI harus hadir dan terlibat dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan dan keagamaan. Berpartisipasi adalah bentuk pemberian simpati dan empati, bukan soal ikut agama tapi sebuah langkah untuk menjadi bangsa besar yang solid. “Kita ini kementerian paling banyak stakeholder. Berkreasilah dalam lingkup keberagaman, agar kita lengket dan tidak merasa asing dengan saudara sebangsa kita, agar kita familiar dan tidak gampang curiga,” harap Nasaruddin Umar.
Agama lokal bagi sebagian masyarakat merupakan isu yang sensitif, baik bagi pemeluknya maupun umat kepercayaan lain. Disinilah pentingnya menggunakan bahasa nurani dalam pendekatan terhadap agama lokal. Setiap orang memiliki pilihan spiritualnya sendiri. Tidak berhak mereka yang tidak percaya justru menjelekkan atau menyesatkan kepercayaan lain. Ini bukan soal memberi pengakuan atas kebenaran dari kepercayaan mereka, tetapi soal menghargai apa yang mereka percayai.
Nasaruddin Umar tidak ingin para pemeluk agama lokal merasa ditolak di ruang formal, apalagi melalui perilaku dan tindakan yang mengucilkan. Agama dan kepercayaan lokal bukanlah ranah yang bisa dicampuri oleh pihak luar. Negara tidak berhak menyesatkan, yang memiliki otoritas adalah para tokoh agama masing-masing. Negara hanya boleh turun tangan jika ada laporan resmi dari pimpinan agama yang bersangkutan. “Jika ada yang dianggap bid’ah, berikanlah pencerahan dengan cara yang baik. Jangan asal klaim tradisi lokal itu bid’ah. Tidak boleh sembrono mengadili,” ujarnya.
Disinilah universitas dan institut dibawah naungan Kemenag RI ikut ambil peran. Yang sering dilupakan adalah universitas dan institut ini tidak hanya berperan dalam bidang keilmuan, mereka memiliki peran dakwah. “Ada juga peran mubalig. Jangan cuma bisa bahasa ilmiah, ingat masyarakat harus paham bahasa anda. Tidak bisa hanya jadi lembaga keilmuan murni. Ada tugas kemasyarakatan dan dakwah,” tekan Nasaruddin Umar.
Selain soal isu moderasi keagamaan, Menag RI juga menegaskan bahwa fungsi mesjid bukan hanya sekedar tempat ibadah formal. Mesjid harus memiliki fungsi memberi rasa aman secara spirituam dan fisik. Ini terkait dengan kesiapan mesjid dalam menghadapi resiko bencana alam. Mitigasi resiko harus dimiliki mesjid-mesjid demi memiliki rasa kesiapsiagaan dan tanggap untuk mengurangi potensi resiko kerugian yang lebih besar. Misalnya dengan menjadi tempat pengungsian dalam kondisi bencana.
Mesjid juga harus mengambil peran sosial dengan menjadi tempat yang menyenangkan tidak hanya bagi umat Islam tapi juga bagi pemeluk agama dan kepercayaan lainnya. Misalnya di saat mudik dan libur panjang, mesjid bisa difungsikan sebagai rest area, tempat istirahat sejenak jiwa dan raga. “Tidak hanya mesjid, rumah ibadah lain juga dibuka untuk berbagai keperluan. Tolonglah para pemudik dan jadikan itu rest area. Rumah ibadah harus ramah dengan siapapun, jangan hanya indah,” pinta Nasaruddin Umar.
(Arga)